BERITA SUMEDANG – Kenapa bupati Sumedang enggan bahkan tidak berani melaksanakan sholat Idul Fitri di Masjid Besar Tegalkalong, Sumedang pada hari Jumat? Ternyata ini sejarah dan asal-usulnya.
Asal-usulnya, berawal dari sejarah kelam yang terjadi di Masjid Besar Tegalkalong, dulu ketika masih zaman Kerajaan Sumedang Larang.
Dulu, di Masjid Besar Tegalkalong yang terletak di Jalan Sebelas April, Lingkungan Tegalkalong, Kelurahan Talun, Kec. Sumedang Utara, sempat terjadi tragedi berdarah yang sangat memilukan.
Menurut tokoh masyarakat yang juga mantan Ketua DKM Masjid Besar Tegalkalong, Bachren Syamsul Bahri, tragedi berdarah dalam perjalanan sejarah Masjid Besar Tegalkalong tersebut, terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan (1656-1709).
Kala itu, kondisi keamanan di Kerajaan Sumedang Larang sedang rawan. Kerawanan tersebut, terutama rawan penyerangan dari arah barat, yakni Kesultanan Banten.
Menyadari hal itu, Pengeran Panembahan mengetatkan pengamanan dengan membentuk pasukan khusus yang disebut Pamuk. Pamuk terdiri dari 40 orang pamuk pilihan.
“Setiap pamuk, ditempatkan tersebar di beberapa daerah. Mereka diberi tanah carik (bengkok) untuk melindungi ibu kota pusat pemerintahan di Tegalkalong dari serangan musuh,” tutur Bachren ketika ditemui di rumahnya di Jalan Sebelas April, Tegalkalong, Kel. Talun, Kec. Sumedang Utara, Kamis 14 April 2022.
Tak dinyana, lanjut dia, penyerangan musuh menjadi kenyataan. Serangan musuh terjadi ketika Pangeran Panembahan sedang melaksanakan Salat Idul Fitri yang jatuh pada hari Jumat, 18 November 1678.
Saat itu, Masjid Tegalkalong dikepung rapat. Selepas khutbah Idul Fitri, masjid langsung diserbu dari semua pintu. Pertumpahan darah pun tak terelakan.
“Pada Hari Raya Idul Fitri di Masjid Tegalkalong, menjadi ajang perkelahian hidup-mati,” ucapnya.
Namun, perkelahiannya tidak seimbang. Penyerbu dari Kesultanan Banten di bawah kepemimpinan Cilik Widara, menyerang dengan persenjataan lengkap dan jumlah pasukan yang besar.
Sementara jemaah Masjid Tegalkalong hanya melawan dengan tangan kosong. Bahkan jumlahnya seadanya.
“Karena tak seimbang, tak pelak korban berjatuhan di pihak jemaah masjid, termasuk para prajurit Pangeran Panembahan. Banjir darah pun tak terelakan,” tuturnya.
Bachren menyebutkan, yang gugur saat itu, antara lain Tumenggung Jaya Satru, Raden Dipa, Aria Santapura dan Mas Bayun. Sejumlah keluarga Pangeran Panembahan ditawan, seperti Raden Singamanggala, Raden Bagus, Raden Tanusuta.
Namun, dengan kekuasaan dan perlindungan Allah SWT, Pangeran Panembahan sendiri berhasil lolos dari kepungan dan menuju ke Indramayu.
“Itu lah tragedi berdarah yang memilukan di Masjid Besar Tegalkalong. Sholat Idul Fitri 1089 Hijriah yang jatuh pada hari Jumat 18 November 1678, tidak akan terlupakan dalam sejarah Masjid Besar Tegalkalong, Sumedang, sampai kapan pun,” ujarnya.
Ia mengatakan, Masjid Besar Tegalkalong dan makam para jemaah masjid serta prajurit yang gugur di daerah Talun, menjadi catatan sejarah yang memilukan saat itu.
Dengan tragedi berdarah tersebut, memunculkan mitos, bahwa pemimpin Sumedang atau bupati Sumedang enggan melaksanakan Salat Idul Fitri pada hari Jumat di Masjid Besar Tegalkalong.
“Mitos ini berlangsung sampai sekarang,” ujar Bachren juga keluarga besar ahli waris tanah wakap Masjid Besar Tegalkalong.
Sebelumnya, lanjut dia, pernah di Masjid Besar Tegalkalong, dilaksanakan salat Idul Fitri tepat di hari Jumat. “Akan tetapi, tidak diikuti pemimpin Sumedang, melainkan para jemaah dari warga sekitar saja,” tuturnya. (Hadadi)***